Free Blog Content

Kamis, 24 Maret 2011

Yuk, Pangkas Pengeluaran yang Nggak Penting...


Selasa, 24/08/2010 10:45 WIB
Yuk, Pangkas Pengeluaran yang Nggak Penting...
Prilla Kinanti - detikFinance

Jakarta - Dalam menjalankan kehidupan sering sekali kita mengalami suatu kondisi dimana hal yang tidak terencana malah terjadi. Masalahnya lagi, ternyata hal yang tidak produktif cukup membebankan keuangan kita di kemudian hari.

Contoh yang paling sederhana ketika kita mengunjungi pusat perbelanjaan, toko, maupun pusat elektronik dsb. Dengan mudahnya pola belanja konsumtif terjadi apalagi didalam saku kita terselip beberapa kartu kredit yang memang diciptakan oleh penerbitnya untuk melakukan transaksi seperti itu.

Beberapa fakta konsumtif sering terjadi pada diri kita, hal ini terbukti dengan akrabnya kita dengan percakapan seperti dibawah ini:

"Duh, pengen beli baju deh"
"Eh katanya Gym disitu bagus loh, ikutan yuk"
"Hmm.., gue butuh jeans nih, yang lama udah ga nge-trend"
"Mana yang lebih asik ya?, ipad atau iphone 4?, atau dua-duanya aja deh"
"Nonton konser yuk, band 'itu' mau datang loh ke Jakarta, kapan lagi bisa nonton mereka?"

Selain akrab, mungkin anda sendiri yang mengalaminya. Seringkah kita mengalaminya?

Pembaca yang bijaksana, contoh kejadian diatas adalah hal yang disebut dengan budaya konsumtif, membeli barang, melakukan transaksi keuangan yang tidak terlalu dibutuhkan, hal ini dapat terjadi karena besarnya sifat emosional yang mengalahkan sifat rasional atau ego yang begitu besar hingga ingin memiliki sesuatu yang sama dengan teman atau rekannya agar bisa menjadi bagian dari mereka.

Membedakan antara kebutuhan dan keinginan

Sebenarnya ada jalan yang tepat untuk mengatasi contoh konsumtif diatas yakni, kita dapat melakukan identifikasi antara kebutuhan dan keinginan.

Sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan kebutuhan? Kebutuhan adalah sesuatu hal yang diperlukan oleh manusia sehingga dapat mencapai kesejahteraan, sehingga bila ada diantara kebutuhan tersebut yang tidak terpenuhi maka manusia akan merasa tidak sejahtera atau kurang sejahtera. Dapat dikatakan bahwa kebutuhan adalah suatu hal yang harus ada.

Sedangkan keinginan adalah sesuatu tambahan atas kebutuhan yang diharapkan dapat dipenuhi sehingga manusia tersebut merasa lebih puas. Namun bila keinginan tidak terpenuhi maka sesungguhnya kesejahteraannya tidak berkurang.

Untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan, harus dilihat dari segi fungsinya.
Terkadang anda menganggap keinginan sebagai kebutuhan yang wajib dipenuhi.

Inilah pola pikir yang harus diubah, karena jika anda tidak bisa membedakan antara keinginan dan kebutuhan maka konsekuensi logisnya anda tidak biasa membedakan pos pengeluaran yang perlu dan tidak perlu. Karena tidak bisa membedakan maka secara otomatis yang bersangkutan sudah pasti tidak akan bisa mengontrol pengeluaran, jika ini berlangsung kama sudah pasti anda akan mengalami defist keuangan dikemudian hari atau dikenal dengan istilah besar pasak dari pada tiang.

Lalu bagaimana caranya agar tidak menjadi defisit? Ada dua cara yaitu pertama melakukan usaha tambahan agar gaji atau pendapatan bertambah, cara kedua adalah melakukan control atau pengendalian pengeluaran yang tidak perlu.

Cara kedua tentu harus menjadi cara yang lebih mudah karena hanya melibatkan diri sendiri, sedang cara pertama tentu harus melibatkan orang lain, minimal bos anda agar kerja anda dapat dinilai baik oleh sang bos sehingga gaji menjadi meningkat. Dalam hal ini cara pertama akan lebih memakan waktu.

Agar lebih jelasnya silahkan lihat contoh kasus berikut:

Misalkan seseorang wanita mempunyai gaji sebesar Rp 2.290.000 per bulan, tetapi total pengeluaran untuk biaya hidup, cicilan motor dan utang kartu kredit serta premi asuransi anda adalah sebesar Rp 2.665.000 per bulan. Ini menujukan bahwa wanita tersebut mengalami defisit yakni sebesar Rp 375.000, dengan defisit ini berarti ia tidak memiliki pos dana untuk tabungan, ivestasi, maupun dana darurat.

Dengan kondisi seperti ini pula (defisit) ia akan menutupinya dengan melakukan utang (melalui kartu kredit), pada akhirnya wanita ini kelak akan gali lubang tutup lubang.

Sebelum kondisi gali dan tutup lubang terjadi maka ada sebuah cara yang sederhana untuk memperbaikinya adalah dengan mengendalikan pengeluaran yang tidak perlu.
Berikut ini adalah rinciannya:

Tabel





Mari kita evaluasi catatan pemasukan dan pengeluaran diatas dengan cara seperti yang dituliskan di awal "mengendalikan pengeluaran yang tidak perlu". Contohnya cable TV, ini adalah pengeluaran yang tidak perlu atau tidak wajib, anda dapat memonton acara TV tanpa menggunakan cable TV.

Lainnya adalah Fitness membership, anda dapat berolah raga tanpa pergi ke fitness centre bukan? Salon, cosmetic, langganan koran juga bukan termasuk dalam pos pengeluaran yang wajib, bukankah koran online saat ini sudah banyak? Dapat dibaca melalui internet?

Demikian juga dengan transportasi, sebelumnya ia sering melakukan kombinasi menggunakan angkutan umum (taksi) dengan kendaraan sendiri (motor) namun dengan efisiensi, penggunaan kendaraan pribadi dioptimalkan.

Bayangkan jika ia mengkapus cable TV, fitness membership, salon, cosmetic, dan langganan majalah serta efisiensi penggunaan kendaraan maka wanita tersebut sudah dapat menekan defisit sebesar Rp 375.000,00 per bulan, bahkan lebih dari itu ia memiliki tabungan, investasi serta pos dana darurat sebesar Rp 250.000,00 per bulannya.

Terkadang pengeluaran lebih besar dari pada pemasukan belum tentu karena pemasukannya yang terlalu sedkit tetapi karena kebiasaan menghamburkan uang. Bahkan jika anda memiliki pekerjaan dengan 'gaji tertinggi' di dunia pun, anda dapat berada dibawah hutang akibat kebiasaan anda.

Anda dapat mengendalikan pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu tersebut jika anda mau. Memang tidak mudah untuk merubahnya tetapi pasti bisa jika mau. Selamat mencoba!

Prilla Kinanti, Associate Financial Planner TGRM Perencana Keuangan (qom/qom)

Hargai Diri dengan Kewajiban Menabung


Senin, 26/07/2010 07:02 WIB
Perencana Keuangan
Hargai Diri dengan Kewajiban Menabung
Budi Cahyadi - detikFinance



Jakarta - Tak jarang kita mendengar penolakan, seperti: "Aduh, mahal sekali biaya di calon sekolah pilihanmu Nak. Nampaknya kami tak mampu membiayainya. Kamu tahu kan ? Ayah tidak punya uang sebanyak itu. Pilih saja sekolahan yang lebih murah".

Sudah dapat ditebak suasana hati si anak, yang kecewa tidak mendapatkan apa yang didambakannya. Tidak jarang pula sang Ayah menyesal. "Kalau saja aku menabung sejak dulu, tentu anakku tak perlu kecewa seperti ini". Nasi sudah menjadi bubur.

Masihkah ada solusi untuk tidak membuat kecewa si anak? Ada. Pinjam uang. Yang berarti utang. Saya rasa para pembaca setuju, bahwa hal ini hanyalah solusi semu alias memindahkan masalah. Selesai masalah untuk menghindari kekecewaan si kecil, pindah menjadi masalah dikejar hutang, yang tidak jarang berujung pada masalah besar dalam kehidupan rumah tangga kita. Sebuah bencana bukan?

Betapa hal 'kecil' yang disebut menabung dapat membuat perbedaan dalam hidup kita. Sayangnya kesadaran menabung dimasyarakat kita dewasa ini masih minim. Berbagai macam alasan muncul disaat sebenarnya kita punya kemampuan untuk menabung, seperti : "Masih banyak keperluan, mudah-mudahan nanti ada sisanya, baru saya tabung".

Penundaan seperti ini sering berujung pada: tidak pernah sempat menabung. Waktu terus berjalan, tanpa sadar sampailah kita pada masa untuk tinggal 'menyesal'. Apakah hal seperti ini akan Anda biarkan tejadi dalam hidup Anda?

Para pembaca yang budiman, mengutip kata bijak dari Mother Teresa: 'Yesterday is gone. Tomorrow has not yet come. We have only today. Let us begin'. Marilah mulai menabung sekarang.

Bagaimana caranya untuk memastikan bahwa aktivitas menabung kita akan memberikan hasil yang optimal? Pada saat kita menerima pendapatan rutin setiap bulan, sudah barang tentu akan mengalir menjadi pengeluaran rutin bulanan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (sebut saja Belanja), membayar kewajiban seperti tagihan kartu kredit, cicilan rumah, cicilan kendaraan dll, serta mengalokasikan dana untuk tabungan. Mana dulu yang harus dibayar? .
Mari kita tinjau beberapa pola aliran dana rutin berikut ini:

Pola 1.

Pendapatan -> Belanja -> Kewajiban -> Menabung

Pada pola yang pertama ini, belanja didahulukan, kemudian baru membayar kewajiban dan sisanya untuk menabung. Kebanyakan dari kita menggunakan pola ini dalam kehidupan sehari-hari. Kelebihan pada pola ini adalah semua kebutuhan belanja anda dan kewajiban(atau sebagian) anda terpenuhi. Namun biasanya kebutuhan belanja bervariasi, mulai dari kebutuhan primer sampai barang yang diinginkan namun tidak dibutuhkan terbeli.

Kemungkinan Anda membelanjakan semua dana yang ada sangat tinggi sehingga tidak semua kewajiban terbayar dan tidak ada sisa lagi untuk menabung. Kecuali Anda adalah orang yang sangat hemat dalam belanja.

Untuk jangka panjang, pola ini akan sangat sulit dalam mendapatkan arus kas positif, bahkan akan menjadi beban bulan berikutnya (yang sebetulnya tidak perlu terjadi), mengingat masih ada tunggakan cicilan yang tentunya akan terkena bunga majemuk (bunga berbunga).

Pola 2.

Pendapatan -> Kewajiban -> Belanja -> Menabung

Pada pola kedua ini, karena kewajiban dibayar lebih dulu, maka Anda akan terhindar dari beban biaya yang tidak perlu dalam bentuk beban bunga majemuk akibat penundaan pembayaran kewajiban tersebut di bulan berikutnya. Namun tetap saja kemungkinan Anda akan menghabiskan dana yang tersisa untuk belanja masih sangat tinggi. Sehingga tidak ada sisa untuk menabung.

Pola 3.

Pendapatan -> Menabung -> Kewajiban -> Belanja

Menurut hemat saya, pola ketiga ini adalah yang terbaik. Artinya, Anda mewajibkan diri untuk memotong pendapatan Anda untuk menabung lebih dulu. Ada baiknya Anda merubah "Mind set" tentang tabungan ini dengan konsep "Paying yourself first" sebagai prinsip utama dalam buku "The Richest Man in Babylon" karangan George S. Clason (baca deh!). Dalam buku ini memberikan inspirasi bahwa anda sebaiknya menghargai segala usaha anda selama ini dengan membayar diri sendiri paling tidak (minimal) 10 % dari pendapatan Anda dalam bentuk tabungan wajib Anda sebelum membayar kewajiban Anda dan membelanjakannya.

Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi peningkatan aset Anda melalui dana tabungan yang terkumpul. Dana tabungan tersebut akan menjadi "Income Generating Asset" atau Aset yang memiliki kemampuan mengembangkan dirinya sendiri yang akan memberi Anda "passive Income". Tentu besarnya pendapatan pasif ini bergantung pada instrumen keuangan yang anda pilih untuk menempatkan dana tabungan Anda (bacalah artikel-artikel kami sebelumnya).

Setelah itu bayar dulu semua kewajiban Anda. Dan selanjutnya Anda bebas berbelanja tanpa kekhawatiran. (cukup ngga cukup, harus cukup!).

Dengan pola yang ketiga ini akan memberikan kepastian akan bertambahnya aset Anda, sesuai dengan tujuan-tujuan financial yang Anda rencanakan. Terlebih lagi, kalimat penolakan (karena ngga punya uang) pada paragraph pertama artikel ini tidak akan pernah terjadi.

Para pembaca yang bijak, tentu Anda setuju bahwa menabung itu wajib hukumnya. Mari kita lakukan dengan benar, dengan memprioritaskannya sebagai hal pokok dalam kehidupan kita. Dengan ditambah kedisiplinan dan persistensi dalam menabung tentu akan lebih memberikan kepastian atas pencapaian tujuan-tujuan financial Anda dimasa depan. Semoga bermanfaat.

Budi Cahyadi MM, CFP®, TGRM Perencana Keuangan.

Rabu, 09 Maret 2011

Jok Motor Khusus Bonceng Bocah


Jakarta - Bagi para pengguna motor yang memiliki anak yang masih kecil tentu pernah merasakan sulitnya membonceng anak tersebut. Selain itu, keamanan ketika membonceng pun membuat orang tua jadi resah dan was-was.

Nah karena itu, piranti bernama Helmiat Bonceng Bocah (HBB) ini sepertinya pantas untuk dilirik. Sebab selain bentuknya praktis, HBB juga meningkatkan rasa aman ketika membawa anak mengendarai sepeda motor.

"Sebenarnya lahirnya produk ini didasari pada keprihatinan saya melihat
banyaknya orang tua yang membonceng anaknya sembarangan. Padahal nyawa dan keselamatan anak itu kita pertaruhkan," ungkap pemilik HBB Helmi Wahyudin kepada detikOto.

Dengan HBB, maka si anak akan lebih aman. Cara pemakaian piranti yang mirip kursi ini pun cukup mudah. Cukup mendudukkan anak ke posisi boncengan, lalu pasangkan seatbelt.

"Alat ini sudah kita patenkan dan sudah menjalani serangkaian tes keamanan di FT-UI (Fakultas Teknik Universitas Indonesia) dan aman sampai 50 kg. Jadi keamanannya terjamin," tandasnya.

HBB yang diproduksi di daerah Depok, Jawa Barat ini terbuat dari bahan stainless steel dan menurut Helmi didesain untuk anak usia 2-10 tahun dan sangat praktis untuk dipasang dan dilepas sesuai kebutuhan.

Apalagi di joknya tergambar beberapa figur kartun yang mampu menarik perhatian anak-anak. "Tapi meski menggunakan alat ini, jangan lupa pakaikan helm ke anak untuk memaksimalkan keamanan si anak selama perjalanan," imbuhnya.

Sementara untuk harganya, HBB di jual dengan dua jenis, jok dengan sandaran rendah berharga Rp 300 ribu dan yang sandarannya lebih tinggi berharga Rp 350 ribu.
( syu / ddn )